Tanpa Papan Proyek, Pembangunan GSG Kalumbuk Menyisakan Tanda Tanya Publik
KOTA PADANG | Senja turun perlahan di Kampung Marapak, Kelurahan Kalumbuk. Langit berwarna jingga membias di balik pagar seng tinggi yang mengurung sebuah bangunan dua lantai. Dari dalam area proyek, suara mesin molen masih berputar, memecah kesunyian sore. Bau semen basah bercampur debu, menandakan satu hal yang tak terbantahkan: pekerjaan belum benar-benar rampung, Jumat sore, 26 Desember 2025.
Bangunan itu bernama Gedung Serbaguna Kampung Kalumbuk (GSG). Di mata warga, gedung ini adalah simbol harapan—ruang pertemuan masyarakat, pusat kegiatan pemuda, tempat latihan seni, hingga lokasi berkumpul saat keadaan darurat. Namun, ketika tahun anggaran hampir menutup lembarannya, harapan itu mulai berdampingan dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawaban.
Tim pers meninjau lokasi pada penghujung Desember. Kalender hampir berganti tahun, tetapi aktivitas proyek justru terlihat masih padat. Beberapa bagian dinding belum difinishing sempurna, lantai menyisakan adukan, dan halaman luar masih tampak setengah jadi. Dari balik pagar seng, proyek itu seperti berpacu dengan waktu.
Satu hal langsung mencolok sejak awal pengamatan: tidak terlihat papan proyek.
Tak ada informasi mengenai nilai anggaran, tahun pelaksanaan, nama kontraktor, konsultan pengawas, maupun jadwal pekerjaan. Hanya bangunan yang berdiri membisu, seolah menutup rapat data dasar yang seharusnya terbuka untuk publik.
Papan Proyek Tak Terpasang, Transparansi Dipertanyakan
Dalam setiap proyek yang menggunakan anggaran negara, papan proyek bukan sekadar formalitas. Ia adalah kewajiban hukum dan etika. Dari sanalah publik mengetahui siapa yang mengerjakan, dengan dana berapa, dan dalam rentang waktu apa pekerjaan dilakukan.
Tanpa papan proyek, masyarakat kehilangan jendela informasi. Padahal, dalam dokumen pengadaan barang dan jasa pemerintah, pemasangan papan proyek lazimnya tercantum sebagai salah satu item pekerjaan—yang berarti anggarannya tersedia.
Ketika papan itu tidak tampak di lapangan, pertanyaan pun muncul secara wajar: siapa pelaksana proyek ini, berasal dari anggaran berapa, dan mengapa informasi dasarnya tidak disampaikan secara terbuka.
Pertanyaan bukanlah tuduhan. Ia adalah bentuk kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang, sekaligus hak masyarakat sebagai pemilik sah anggaran publik.
Kejar Waktu di Ujung Tahun Anggaran
Aktivitas di lapangan menunjukkan pekerjaan yang belum sepenuhnya selesai. Material masih berserakan, beberapa bagian interior belum rapi, dan para pekerja terlihat bergerak cepat, seolah berpacu dengan hari yang terus berjalan.
Dalam logika pengelolaan keuangan negara, kondisi ini memunculkan sejumlah kemungkinan. Bisa jadi pekerjaan memang belum selesai meski waktu kontrak hampir berakhir. Bisa pula telah terjadi perpanjangan waktu (addendum) yang sah, namun tidak diketahui publik karena minimnya informasi di lapangan.
Di titik inilah transparansi diuji. Proyek yang dikejar tenggat berpotensi menghadapi risiko penurunan mutu. Dan pada akhirnya, masyarakatlah yang akan menanggung akibat jika kualitas bangunan dikompromikan demi menyelesaikan pekerjaan di atas kertas.
Suara Warga: Tidak Menolak, Hanya Ingin Tahu
Di tepi jalan, seorang pria paruh baya yang kami samarkan namanya menjadi R (45) berdiri mengamati bangunan dari kejauhan.
“Kami senang ada gedung ini. Ini kebutuhan masyarakat. Tapi dari awal kami tidak pernah melihat papan proyek. Jadi wajar kalau kami bertanya-tanya—anggarannya berapa dan selesai kapan,” ujarnya pelan.
Tak jauh dari situ, beberapa pemuda duduk di atas sepeda motor. A (24), salah satunya, menyampaikan kekhawatiran yang sama.
“Belakangan kelihatannya buru-buru. Harapan kami jangan karena kejar target, kualitasnya dikorbankan. Kalau nanti cepat rusak, kami juga yang rugi,” katanya.
Seorang ibu rumah tangga, L (33), menimpali dengan nada sederhana namun tegas, “Kalau ada papan proyek, semuanya jelas. Ini uang negara. Wajar kalau masyarakat ingin tahu.”
Tak ada teriakan. Tak ada tudingan. Hanya suara warga yang ingin dilibatkan secara informasi dalam pembangunan di lingkungannya sendiri.
Peran Pelaksana dan Pengawas
Dalam setiap proyek konstruksi, tanggung jawab tidak hanya berada di tangan kontraktor pelaksana. Ada konsultan pengawas yang berfungsi sebagai mata pemilik pekerjaan—memastikan setiap volume, spesifikasi teknis, dan progres sesuai dengan dokumen kontrak.
Kondisi lapangan yang masih aktif menjelang akhir tahun memunculkan pertanyaan profesional: apakah progres administrasi telah sesuai dengan progres fisik? Apakah setiap perubahan pekerjaan telah didukung dokumen resmi? Dan apakah mutu bangunan tetap terjaga di tengah tekanan waktu?
Karena bangunan yang tampak kokoh hari ini bisa menyimpan persoalan di masa depan jika kualitas dikompromikan.
Tahun Anggaran dan Konsekuensi Hukum
Dalam sistem keuangan negara, pekerjaan yang melewati tahun anggaran bukan perkara sepele. Harus ada dasar hukum yang jelas, dokumen yang sah, dan mekanisme yang sesuai peraturan perundang-undangan. Tanpa itu, auditor negara memiliki alasan kuat untuk melakukan pemeriksaan lebih mendalam.
Pertanyaan auditor tentu jauh lebih tegas dibanding pertanyaan warga.
Tulisan ini tidak menuduh siapa pun. Namun secara normatif, jika suatu saat terbukti terdapat mark-up, pengurangan volume, penurunan mutu, pembayaran tidak sesuai progres, atau penyimpangan lainnya, maka hal tersebut dapat bersinggungan dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Semua itu masih bersifat kemungkinan—bukan kesimpulan. Kebenaran harus ditentukan melalui audit dan klarifikasi resmi, bukan asumsi.
Gedung Ini Adalah Cerita Publik
Suatu hari nanti, pintu Gedung Serbaguna Kampung Kalumbuk akan dibuka. Anak-anak akan berlarian, pemuda berlatih, ibu-ibu berkumpul, dan tokoh masyarakat bermusyawarah di dalamnya.
Namun bangunan publik bukan hanya soal dinding, cat, dan keramik. Ia adalah tentang kejujuran, akuntabilitas, dan kepercayaan.
Kepercayaan dibangun dari keterbukaan—dan runtuh karena diam.
CATATAN REDAKSI
Tulisan ini disusun berdasarkan kunjungan lapangan tim pers, pengamatan visual, serta dialog dengan warga sekitar. Redaksi telah berupaya melakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait, antara lain:
Miki, selaku Kasi Bidang Prasarana Sarana Umum
Ola, selaku PPK Bidang Prasarana Sarana Umum
Rozi, selaku Konsultan Pengawas
Hingga berita ini diterbitkan, ketiga pihak tersebut telah dihubungi awak media, namun belum memberikan konfirmasi atau keterangan resmi.
Redaksi menegaskan bahwa berita ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi pihak mana pun dan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Redaksi membuka ruang hak jawab, klarifikasi, dan penjelasan resmi dari seluruh pihak terkait. Setiap tanggapan akan dimuat secara proporsional sesuai ketentuan perundang-undangan dan Kode Etik Jurnalistik.
TIM
