Lereng yang Menggugat Negara, Dugaan Oknum Intel Korem 032 dan Pertaruhan Supremasi Hukum di Silukah
SILUKAH, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat — Minggu, 14 Desember 2025. Pagi di Silukah biasanya dimulai dengan kabut tipis yang menggantung di lereng. Namun belakangan, kabut itu bercampur debu tanah. Deru mesin memecah sunyi. Lereng yang selama puluhan tahun menjadi penyangga hidup warga kini terkelupas perlahan, menyisakan jejak-jejak galian yang memantik pertanyaan besar tentang hukum, kekuasaan, dan keberpihakan negara, Minggu 14 Desember 2025.
Penelusuran redaksi menemukan aktivitas alat berat di kawasan berlereng curam yang secara ekologis rentan. Ekskavator tampak bekerja sistematis, menggerus tanah dan batuan. Material digeser, ditumpuk, sebagian diduga diangkut keluar lokasi. Di sejumlah titik, terpal biru menutup area tertentu—sebuah pemandangan yang justru menguatkan kesan bahwa aktivitas ini berupaya luput dari pengawasan.
Yang tidak ditemukan justru hal paling mendasar: papan izin usaha pertambangan (IUP) dan keterangan dokumen lingkungan. Dalam praktik pertambangan legal, papan izin adalah wajah pertama yang menunjukkan kepatuhan. Ketiadaannya menimbulkan dugaan kuat bahwa aktivitas ini bermasalah sejak awal.
Dampak paling cepat dirasakan warga. Sungai di bawah lereng yang dulu jernih kini kerap berubah cokelat setiap hujan. Endapan lumpur mengalir, menyusup ke sawah dan kebun. “Kalau hujan deras, kami takut. Lereng ini bisa runtuh,” ujar seorang warga Silukah. Kekhawatiran itu bukan asumsi; sejarah bencana di wilayah perbukitan menunjukkan kerusakan hulu kerap berujung petaka di hilir.
Kasus ini naik kelas ketika informasi yang dihimpun redaksi menyebut dugaan keterlibatan aparat aktif. Seorang pria berinisial A.S. disebut-sebut sebagai pengendali lapangan. Berdasarkan keterangan sejumlah sumber, A.S. diduga merupakan oknum dari unit intel Korem 032/Wirabraja. Redaksi menegaskan, informasi ini masih dalam tahap verifikasi berlapis dan belum ada pernyataan resmi dari institusi terkait. Namun, penyebutan unsur intelijen dalam aktivitas yang diduga ilegal telah cukup mengguncang kepercayaan publik.
Di titik ini, perkara Silukah tidak lagi sekadar soal izin atau administrasi. Ia berubah menjadi ujian integritas aparat negara. Ketika aparat yang seharusnya menjaga hukum justru disebut dalam dugaan pelanggaran, maka pertanyaan publik bergeser: siapa yang mengawasi pengawas?
Secara yuridis, dugaan pertambangan tanpa izin melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal 158 mengatur ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Dari sisi lingkungan, pengrusakan lereng dan pencemaran sungai berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 98 memuat ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar apabila perusakan menimbulkan dampak serius.
Konsekuensi menjadi berlapis apabila dugaan keterlibatan anggota TNI aktif terbukti. Selain pidana umum, terdapat potensi pelanggaran hukum disiplin militer dan kode etik prajurit TNI, termasuk larangan keras terlibat dalam bisnis ilegal dan kegiatan ekonomi yang mencederai kehormatan institusi. Dalam konteks ini, penanganan yang tidak transparan justru berisiko memperdalam krisis kepercayaan publik.
Upaya konfirmasi terus dilakukan. Redaksi berulang kali meminta klarifikasi resmi dari Korem 032/Wirabraja, instansi lingkungan hidup Kabupaten Sijunjung, serta aparat penegak hukum terkait. Hingga laporan ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi yang menjelaskan status izin, pengawasan, maupun posisi institusi terhadap dugaan yang berkembang.
Bagi warga Silukah, persoalan ini menyentuh urat nadi kehidupan. Lereng bukan sekadar tanah; ia adalah pelindung kampung, sumber air, dan penopang ekonomi. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan merusak alam dan menutup mata hukum,” kata seorang tokoh masyarakat.
Silukah kini menjadi cermin. Di sanalah publik menguji apakah negara hadir secara adil—menegakkan hukum tanpa pandang seragam dan kewenangan—atau justru membiarkan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Catatan Redaksi: Laporan feature investigasi ini disusun berdasarkan temuan lapangan, dokumentasi visual, dan keterangan sejumlah sumber. Redaksi berkomitmen mengawal, menelusuri, dan menguji kebenaran informasi ini hingga tuntas, serta membuka ruang hak jawab bagi seluruh pihak yang disebutkan sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
TIM
